WATAMPONE, BONEBER1.COM--Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sudah diberlakukan efektif, namun tidak semua pihak yang berkepentingan di Kabupaten Bone memahami amanat ini.
Ironisnya, ketidakpahaman ini justru diperlihatkan oleh penegak hukum yang notabene tahu lebih banyak persoalan hukum dibanding lembaga lainnya. Mereka cenderung masih menggunakan cara lama dalam hal menangani dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Aparat Sipil Negara (ASN).
Sebut saja pada saat pemeriksaan Kepala Badan Satpol PP Bone, M. Zainal oleh pihak Kejari Bone beberapa waktu lalu. Zainal dipanggil karena institusinya diduga telah melakukan pemotongan gaji tenaga Kontrak Petugas Satpol PP.
Pihak Kejari Bone dalam penyelidikannya yang dilakukan oleh Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus), Muh. Tasbih langsung melakukan pemeriksaan terhadap Zainal tanpa melakukan koordinasi dengan Inspektorat Daerah (Irda) Bone selaku Pengawas Internal Pemerintah Daerah.
Padahal, berdasarkan amanat yang diatur dalam pasal 385 pada UU itu, prosedur pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejari Bone selaku penyidik terlebih dahulu harus berkoordinasi dengan Irda untuk mengetahui indikasi pelanggaran yang dilakukan Zainal, apakah dugaan pelanggarannya bersifat administratif atau pidana, dimana dipasal itu diatur, pelanggaran yang bersifat administratif diserahkan ke Irda untuk ditangani sendiri, sementara pelanggaran yang bersifat pidana baru diserahkan ke penegak hukum.
Hal seperti ini juga dilakukan sebelumnya oleh pihak Kepolisian, seperti pada saat pemanggilan Kepala Kantor Kebersihan, Pertamanan dan Pekuburan Bone, Yudhistira oleh Polres Bone beberapa waktu lalu. Saat itu Yudhistira dipanggil karena terindikasi melakukan pelanggaran, yakni tidak membayar upah petugas kebersihan selama dua bulan.
Tidak adanya koordinasi terhadap Irda Bone dalam penanganan kedua ASN ini diakui sendiri oleh Kepala Irda Bone, Andi. Amar Ma'ruf saat dikonfirmasi yang mengatakan, kalau sampai saat ini tidak ada satupun pihak penegak hukum, baik penyidik dari Kepolisian maupun Kejaksaan yang pernah berkoordinasi sebelum melakukan pemeriksaan, baik kepada Zainal maupun kepada Yudhistira yang keduanya diduga telah melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugas. "Tidak pernah ada seperti itu," akunya dalam telepon selular, Rabu 25 Maret 2015.
Kendati demikian, Amar Ma'ruf berpendapat, koordinasi pihak penegak hukum ke pihaknya tidak mutlak dilakukan apabila sudah ada penyampaian ke Bupati. Bahkan ketika dijelaskan isi dari pasal 385 yang mengamanatkan perlunya koordinasi tersebut tetap ditampik oleh Amar Ma'ruf.
"Tidak perlu seperti itu, yang penting sudah ada penyampaian ke Bupati dan Bupati sudah memerintahkan, maka penegak hukum sudah bisa melakukan pemeriksaan," tegasnya.
Berbeda diungkapkan, H. Jemmy, Kepala Kantor Pemadam Kebakaran (Damkar) Bone yang justru menganggap, hal ini sebagai salah satu bukti kelemahan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bone yang tidak punya upaya untuk memberi perlindungan terhadap jajarannya dalam melaksanakan tugas.
"Perlindungan hukum bagi aparat daerah harus dinampakkan, mereka itukan belum tentu bersalah, namanya saja terduga, inilah bukti lemahnya Irda selaku instansi pembina internal, seharusnya berupaya memberi kejelasan sebelum masalah ini sampai ke tangan penegak hukum, jangan malah melakukan pembiaran seperti itu,” terang Jemmy, Rabu (25/ 2015).
Jemmy juga menyayangkan sikap pengacara Pemkab yang selama ini hanya diam. Padahal menurutnya pengacara selaku konsultan hukum seharusnya berperan aktif memberikan pandangan jika terjadi masalah seperti itu.
“Apa gunanya pengacara, mereka kan digaji untuk itu, seharusnya mereka mendampingi, atau sekurang-kurangnya memberikan pandangan hukum seperti apa kalau masalahnya begini, selama ini apa yang mereka lakukan," terangnya.
Yang dikhawatirkan Jemmy, jika kondisi seperti ini dibiarkan terus berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan semakin banyak pejabat yang dipanggil oleh penegak hukum tanpa bisa dibuktikan kesalahannya, sehingga resiko paling parah yang bisa ditimbulkan, jika terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
"Harus ada kesepakatan (MoU, red) antara pemerintah dan penegak hukum, agar masing-masing pihak dapat melaksanakan Undang-Undang itu, jangan seenaknya seorang ASN dipanggil, kemudian dengan enteng dikatakan tidak bersalah, orang kalau sudah diperiksa apalagi seorang pejabat, pasti sangat sulit untuk dikembalikan nama baiknya, orang selalu berprasangka macam-macam, makanya semua pihak harus hati-hati, bisa-bisa nanti tidak ada yang mau jadi pejabat," jelasnya.
0 komentar:
Post a Comment