BONEBER1.COM--Tubuh renta itu tampak duduk di dekat tumpukan kardus bekas. Tatapannya kosong menerawang seakan menembus dinding lapak-lapak sederhana pasar Shau Kei Wan. Entah apa yang ada di benaknya. Sudah 3 tahun terakhir ini saya selalu melihatnya di pasar ini, hampir setiap hari saya berpapasan dengannya ketika saya berbelanja.
Sebut saja namanya Nenek Wang. Umurnya hampir 90 tahun katanya, ketika saya iseng bertanya. Dia datang dari China Daratan, mengadu nasib di Hong Kong sejak dia berumur 20-an. Tak banyak yang saya ketahui tentangnya. Saya sebenarnya ingin bertanya lebih banyak tapi beberapa pedagang pakaian yang punya lapak di sekitar Nenek Wang dan saya ngobrol, tiba-tiba menghampiri dan malah ikut ”mewawancarai” saya. Karena merasa terusik akhirnya saya pamit pergi, lagipula waktu saya terbatas karena harus belanja.
Kembali kepada aktifitas Nenek Wang sehari-hari. Nenek tua itu mengumpulkan kardus-kardus bekas untuk menyambung hidup. Kardus-kardus bekas tempat buah atau sayuran itu dijual lagi ke tukang loak yang menghargainya beberapa dollar untuk setiap kilogramnya. Tak banyak, kira-kira hanya HKD 5/ kg.
Mungkin kardus yang dikumpulkannya tak banyak karena bukan hanya dia yang menjadi pemulung di pasar ini. Masih ada beberapa manula lain yang kadang saya jumpai. Terkadang Nenek Wang juga membantu para pedagang menyiangi sayur yang baru datang. Sayurnya tidak sedikit, bisa berkardus-kardus. Dengan telaten dia memilah-milah daun sayuran yang tak layak jual lalu mengumpulkan sampahnya sebelum di buang.
Perjuangan hidupnya di usia senjanya tak pelak membuat hati saya teriris. Membuat saya bertanya-tanya, tak adakah anak yang dapat mengurusnya? Kenapa dia harus mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup menjadi pemulung yang hasilnya tak seberapa? Rupanya pertanyaan saya terjawab sudah, jawaban yang semakin membuat dada saya sesak. Nenek Wang tinggal di kolong jembatan! Dia hidup sebatang kara.
Saya lihat dengan mata kepala saya, diperkuat dengan pengakuan Nenek Wang sendiri. Waktu itu saya sedang libur dan seperti biasa ketika libur sendirian saya memilih berjalan kaki berkeliling. Tak sengaja saya melihat Nenek Wang duduk terpekur di ranjangnya yang sederhana, menghitung hasil memulung hari itu.
Sebenarnya banyak sekali manula seperti Nenek Wang. Memandangnya mengingatkan saya pada almarhumah nenek saya. Juga pada seorang nenek renta di Chai Wan, tempat saya pertama kali kerja di Hong Kong sekitar tahun 2002. Waktu itu saya harus bekerja di dua rumah yang agak berjauhan jadi tiap malam saya pulang ke rumah yang di Sai Wan Ho untuk tidur. Setiap malam saya melihat nenek itu menawarkan jasa mencuci minibus yang di parkir di pinggir jalan. Bermodalkan gerobak berisi 2 ember besar berisi air sabun dan air bersih, dengan hati-hati dibersihkan minibus-minibus itu.
Itu pekerjaannya di malam hari, di siang hari nenek itu memulung kardus dan kertas bekas. Dia juga mengorek-ngorek tong sampah mencari kaleng aluminium bekas minuman. Tak dihiraukan panas dan hujan. Dengan tubuh bungkuknya dia tetap mendorong gerobaknya mencari rongsokan dan kardus yang bisa dia jual untuk membeli sebungkus nasi penyambung hidup.
Semangat yang pantas ditiru, perjuangan hidup yang keras tak memudarkan semangat juang mereka. Di tengah kemakmuran Hong Kong, masih banyak kemiskinan. Tiba-tiba saya berpikir, imlek sebentar lagi, hari dimana semua orang bergembira dan berkumpul dengan keluarga. Lalu bagaimana dengan manula pemulung dan tunawisma seperti Nenek Wang? Akankah dia ikut menikmati meriahnya tahun baru? Adakah yang dimakannya ketika pasar tutup seminggu karena hari raya? Akankah ada yang teringat bahwa ada beberapa gelintir manusia di kolong jembatan yang harus berjuang menanggung hidup?.
Sebut saja namanya Nenek Wang. Umurnya hampir 90 tahun katanya, ketika saya iseng bertanya. Dia datang dari China Daratan, mengadu nasib di Hong Kong sejak dia berumur 20-an. Tak banyak yang saya ketahui tentangnya. Saya sebenarnya ingin bertanya lebih banyak tapi beberapa pedagang pakaian yang punya lapak di sekitar Nenek Wang dan saya ngobrol, tiba-tiba menghampiri dan malah ikut ”mewawancarai” saya. Karena merasa terusik akhirnya saya pamit pergi, lagipula waktu saya terbatas karena harus belanja.
Kembali kepada aktifitas Nenek Wang sehari-hari. Nenek tua itu mengumpulkan kardus-kardus bekas untuk menyambung hidup. Kardus-kardus bekas tempat buah atau sayuran itu dijual lagi ke tukang loak yang menghargainya beberapa dollar untuk setiap kilogramnya. Tak banyak, kira-kira hanya HKD 5/ kg.
Mungkin kardus yang dikumpulkannya tak banyak karena bukan hanya dia yang menjadi pemulung di pasar ini. Masih ada beberapa manula lain yang kadang saya jumpai. Terkadang Nenek Wang juga membantu para pedagang menyiangi sayur yang baru datang. Sayurnya tidak sedikit, bisa berkardus-kardus. Dengan telaten dia memilah-milah daun sayuran yang tak layak jual lalu mengumpulkan sampahnya sebelum di buang.
Perjuangan hidupnya di usia senjanya tak pelak membuat hati saya teriris. Membuat saya bertanya-tanya, tak adakah anak yang dapat mengurusnya? Kenapa dia harus mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup menjadi pemulung yang hasilnya tak seberapa? Rupanya pertanyaan saya terjawab sudah, jawaban yang semakin membuat dada saya sesak. Nenek Wang tinggal di kolong jembatan! Dia hidup sebatang kara.
Saya lihat dengan mata kepala saya, diperkuat dengan pengakuan Nenek Wang sendiri. Waktu itu saya sedang libur dan seperti biasa ketika libur sendirian saya memilih berjalan kaki berkeliling. Tak sengaja saya melihat Nenek Wang duduk terpekur di ranjangnya yang sederhana, menghitung hasil memulung hari itu.
Sebenarnya banyak sekali manula seperti Nenek Wang. Memandangnya mengingatkan saya pada almarhumah nenek saya. Juga pada seorang nenek renta di Chai Wan, tempat saya pertama kali kerja di Hong Kong sekitar tahun 2002. Waktu itu saya harus bekerja di dua rumah yang agak berjauhan jadi tiap malam saya pulang ke rumah yang di Sai Wan Ho untuk tidur. Setiap malam saya melihat nenek itu menawarkan jasa mencuci minibus yang di parkir di pinggir jalan. Bermodalkan gerobak berisi 2 ember besar berisi air sabun dan air bersih, dengan hati-hati dibersihkan minibus-minibus itu.
Itu pekerjaannya di malam hari, di siang hari nenek itu memulung kardus dan kertas bekas. Dia juga mengorek-ngorek tong sampah mencari kaleng aluminium bekas minuman. Tak dihiraukan panas dan hujan. Dengan tubuh bungkuknya dia tetap mendorong gerobaknya mencari rongsokan dan kardus yang bisa dia jual untuk membeli sebungkus nasi penyambung hidup.
Semangat yang pantas ditiru, perjuangan hidup yang keras tak memudarkan semangat juang mereka. Di tengah kemakmuran Hong Kong, masih banyak kemiskinan. Tiba-tiba saya berpikir, imlek sebentar lagi, hari dimana semua orang bergembira dan berkumpul dengan keluarga. Lalu bagaimana dengan manula pemulung dan tunawisma seperti Nenek Wang? Akankah dia ikut menikmati meriahnya tahun baru? Adakah yang dimakannya ketika pasar tutup seminggu karena hari raya? Akankah ada yang teringat bahwa ada beberapa gelintir manusia di kolong jembatan yang harus berjuang menanggung hidup?.
0 komentar:
Post a Comment